PUTUSAN Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rabu, 9 Januari 2002 lalu suatu pukulan telak bagi pengusaha DKI Jakarta yang bergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Harapan pengusaha bisa menunda pelaksanaan upah minimum provinsi (UMP) 2002 sebesar Rp 591.266, kandas karena PTUN setempat mencabut penetapan majelis hakim, maka otomatis UMP 2002 tetap berlaku sesuai Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor 3025 Tahun 2001 tentang UMP 2002.
Di akhir tahun 2002 ini, isu kenaikan upah minimum mulai bergulir. Mereka tidak mau pengalaman pahit UMP tahun 2002 kembali terjadi. Sebagai antisipasi mereka mendahului putusan Gubernur DKI Jakarta tentang UMP 2003, yang biasanya diumumkan pada Desember 2002. Para pengusaha yang tergabung dalam Apindo mengumumkan bahwa UMP 2003 nol persen atau tidak naik. Berarti upah UMP tersebut besarnya tetap, yakni Rp 591.266.
Kalaupun upaya ini tak mampu direalisasikan karena kuatnya desakan dari berbagai pihak, pengusaha siap me-naikkan. Namun, kenaikan UMP pekerja di Jakarta tak lebih dari laju inflasi tahun 2002 yang mencapai sembilan persen. Alibi pengusaha, putusan itu merupakan langkah yang paling progresif, demi kepentingan dunia bisnis, buruh, dan bangsa. Bila UMP tetap dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi 3,5 persen, maka akan menyerap minimal satu juta tenaga kerja.
Sebaliknya, jika buruh memaksakan kenaikan 25 persen-30 persen dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 persen, maka sedikitnya sekitar 600.000 tenaga kerja akan kehilangan pekerjaan. Efek domino dari kenaikan UMP hingga 30 persen itu akan sangat besar, mengingat setiap perusahaan berhubungan dengan banyak vendor.
"Kenaikan nol persen itu yang paling realistis. Keputusan mengenai UMP itu sangat ditunggu para investor asing dari Jepang, Finlandia, dan Australia. Jika terjadi kenaikan UMP, mereka tidak akan masuk ke Indonesia," kata Sekretaris Apindo DKI Jakarta Masrana.
Tahun 2001 kata dia, UMP DKI sebesar Rp 426.000 dan tahun 2002 naik 38,7 persen menjadi Rp 591.266. Bila buruh menginginkan kenaikan lagi dalam kondisi ekonomi seperti sekarang ini akan sangat me-nyulitkan pengusaha. Apalagi upaya untuk menarik investor asing tidak hanya dilakukan oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain yang menghasilkan produk yang sama dengan konsep padat karya. Hal ini membuat kondisi persaingan semakin ketat, apalagi dibanding negara kompetitor seperti Cina, Vietnam, dan Kamboja, UMP DKI tetap yang paling tinggi. UMP Cina masih Rp 425.000 per bulan, sedangkan UMP Vietnam dan Kamboja Rp 382.500 per bulan.
Akibat kenaikan UMP yang rata-rata mencapai 40% itu, pengusaha dihadapkan pada situasi sulit menanggung beban gaji karyawannya. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Suryo Bambang Sulisto mengungkapkan, berdasarkan hasil pertemuan Kadin dengan berbagai asosiasi usaha, perusahaan-perusahaan yang menghadapi kesulitan serta beban akibat kenaikan UMP memiliki 4 opsi.
Pertama, adalah meminta penangguhan pelaksanaan kenaikan UMP. Kedua, melakukan upaya hukum dengan mengajukan keputusan penentuan UMP oleh pemerintah kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTN). Ketiga, mengurangi biaya produksi dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Keempat, menghentikan kegiatan produksi dan selanjutnya merelokasi atau menutup perusahaan. Keempat opsi tersebut, tambah Suryo merupakan akibat posisi pengusaha saat ini akibat kenaikan UMP.
Pengusaha juga menyesalkan bahwa pemerintah telah menetapkan kenaikan upah minimum tanpa memerhatikan mekanisme perundang-undangan. Selain itu, hanya sebagian perusahaan yang mempunyai kemampuan dapat menyesuaikan dan menerapkan kenaikan upah minimum yang ditetapkan pemerintah.
Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/11/29/me96sw-hadapi-ump-baru-pengusaha-pakai-jurus-4-opsi
http://bisnis.liputan6.com/read/473831/2000-perusahaan-minta-penangguhan-ump
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=775&coid=2&caid=36&gid=3
No comments: